KOMPAS.com | Kamis, 24 Januari 2013
| 08:23 WIB
 |
KOMPAS/RIZA
FATHONI Ilustrasi: Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar,
Pemimpin Pondok Pesantren Soko Tunggal KH Nuril Arifin, dan Franz Magnis-Suseno
(dari kiri ke kanan) hadir pada peringatan dua tahun meninggalnya KH
Abdurrahman Wahid, di Kantor DPP PKB, Jakarta, Kamis (29/12/2011). |
SURABAYA, KOMPAS.com — Seorang peserta dalam acara bertajuk "A Tribute to
Martin Luther King dan Gus Dur: Warisan Pluralisme, Keanekaragaman dan
Demokrasi" yang digelar Konsulat Jenderal Amerika Serikat di Surabaya,
Selasa (22/1), mengaku ingin keluar dari agama."Rasanya, saya ingin keluar
dari agama karena agama sudah tidak lagi membuat orang menjadi sejuk. Banyak
orang beragama yang suka konflik. Banyak orang dengan pakaian agama justru
melakukan kekerasan, bahkan membunuh saudara sendiri. Jadi, buat apa
beragama," ucap peserta itu.
Menjawab hal itu, budayawan Emha
Ainun Nadjib (Cak Nun) menjelaskan agama itu bukan institusi. Karena itu, orang
masuk ke dalam agama atau keluar dari agama itu bukan persoalan. "Agama
itu bukan institusi. Kalau Anda mengaku beragama tapi suka kekerasan, itu bukan
beragama," tuturnya.
Sahabat dari mantan Presiden
Abdurrahman Wahid atau Gus Dur (alm) itu menyebut Gus Dur sebagai orang
beragama, dan orang beragama yang suka kekerasan itu ateis (bukan orang
beragama).
"Islam itu bukan sekadar salat,
puasa, zakat, haji, atau syariah, tapi Islam adalah jujur kepada manusia. Islam
adalah cinta kepada manusia, Islam adalah keindahan. Jadi, kalau Anda mengaku
Islam tapi tidak indah atau suka kekerasan, Anda belum tentu Islam,"
paparnya. Bahkan, suami artis Novia Kolopaking
itu menilai rukun Islam (shalat, puasa, zakat, haji, dan syariah lain) itu
hanya 3,5 persen dari ajaran, sedangkan 96,5 persen dari ajaran Islam yang
sesungguhnya adalah keindahan, penghormatan kepada sesama, jujur, adil, bersih,
bersatu, dan seterusnya.
"Jadi, kalau Gus Dur itu garang
kepada ICMI dan sesama Islam, tapi Gus Dur sangat hormat kepada non-Islam, maka
hal itu bukan berarti Gus Dur tidak beragama. Target Gus Dur bukan sekadar
menghormati non-Islam itu, tapi Gus Dur ingin menegakkan keadilan, kesetaraan,
persaudaraan, kejujuran, keindahan, dan sejenisnya. Itulah ajaran Islam yang sesungguhnya,"
tuturnya.
Pemimpin kelompok musik religi Kiai
Kanjeng itu menilai Gus Dur justru melakukan "diskriminasi hasanah"
(diskriminasi yang baik). "Baginya, Islam tidak perlu dibela karena
jalurnya sudah tepat, tapi non-Islam justru harus tahu Islam itu
bagaimana," ujarnya tersenyum.
Pandangan Cak Nun itu tidak jauh
berbeda dengan pandangan Dubes AS untuk Indonesia Scot Marciel yang juga hadir
dalam acara mengenang Gus Dur dan Martin Luther King Jr itu. "Gus Dur dan
Martin Luther King Jr itu berbeda, tapi keduanya memiliki kesamaan sebagai
tokoh agama dan pejuang HAM di negaranya," ujarnya. Bahkan, ia menilai tokoh HAM Gus Dur
telah mendorong Indonesia menjadi lebih baik, seperti halnya tokoh HAM Martin
Luther King Jr mendorong AS menjadi lebih baik.
"Beliau ikut memperjuangkan
kesetaraan hak itu, tapi caranya dengan damai," paparnya dalam acara yang
juga dihadiri putri pertama Gus Dur, Alissa Wahid, itu.
Sumber :
ANT
Editor :
Jodhi Yudono