Sabtu, 26 Januari 2013

Cak Nun, Gus Dur, dan Ateis



KOMPAS.com | Kamis, 24 Januari 2013 | 08:23 WIB
KOMPAS/RIZA FATHONI Ilustrasi: Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar, Pemimpin Pondok Pesantren Soko Tunggal KH Nuril Arifin, dan Franz Magnis-Suseno (dari kiri ke kanan) hadir pada peringatan dua tahun meninggalnya KH Abdurrahman Wahid, di Kantor DPP PKB, Jakarta, Kamis (29/12/2011). 

SURABAYA, KOMPAS.com — Seorang peserta dalam acara bertajuk "A Tribute to Martin Luther King dan Gus Dur: Warisan Pluralisme, Keanekaragaman dan Demokrasi" yang digelar Konsulat Jenderal Amerika Serikat di Surabaya, Selasa (22/1), mengaku ingin keluar dari agama."Rasanya, saya ingin keluar dari agama karena agama sudah tidak lagi membuat orang menjadi sejuk. Banyak orang beragama yang suka konflik. Banyak orang dengan pakaian agama justru melakukan kekerasan, bahkan membunuh saudara sendiri. Jadi, buat apa beragama," ucap peserta itu.


Menjawab hal itu, budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) menjelaskan agama itu bukan institusi. Karena itu, orang masuk ke dalam agama atau keluar dari agama itu bukan persoalan. "Agama itu bukan institusi. Kalau Anda mengaku beragama tapi suka kekerasan, itu bukan beragama," tuturnya.
Sahabat dari mantan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur (alm) itu menyebut Gus Dur sebagai orang beragama, dan orang beragama yang suka kekerasan itu ateis (bukan orang beragama).

"Islam itu bukan sekadar salat, puasa, zakat, haji, atau syariah, tapi Islam adalah jujur kepada manusia. Islam adalah cinta kepada manusia, Islam adalah keindahan. Jadi, kalau Anda mengaku Islam tapi tidak indah atau suka kekerasan, Anda belum tentu Islam," paparnya. Bahkan, suami artis Novia Kolopaking itu menilai rukun Islam (shalat, puasa, zakat, haji, dan syariah lain) itu hanya 3,5 persen dari ajaran, sedangkan 96,5 persen dari ajaran Islam yang sesungguhnya adalah keindahan, penghormatan kepada sesama, jujur, adil, bersih, bersatu, dan seterusnya.

"Jadi, kalau Gus Dur itu garang kepada ICMI dan sesama Islam, tapi Gus Dur sangat hormat kepada non-Islam, maka hal itu bukan berarti Gus Dur tidak beragama. Target Gus Dur bukan sekadar menghormati non-Islam itu, tapi Gus Dur ingin menegakkan keadilan, kesetaraan, persaudaraan, kejujuran, keindahan, dan sejenisnya. Itulah ajaran Islam yang sesungguhnya," tuturnya.

Pemimpin kelompok musik religi Kiai Kanjeng itu menilai Gus Dur justru melakukan "diskriminasi hasanah" (diskriminasi yang baik). "Baginya, Islam tidak perlu dibela  karena jalurnya sudah tepat, tapi non-Islam justru harus tahu Islam itu bagaimana," ujarnya tersenyum.

Pandangan Cak Nun itu tidak jauh berbeda dengan pandangan Dubes AS untuk Indonesia Scot Marciel yang juga hadir dalam acara mengenang Gus Dur dan Martin Luther King Jr itu. "Gus Dur dan Martin Luther King Jr itu berbeda, tapi keduanya memiliki kesamaan sebagai tokoh agama dan pejuang HAM di negaranya," ujarnya. Bahkan, ia menilai tokoh HAM Gus Dur telah mendorong Indonesia menjadi lebih baik, seperti halnya tokoh HAM Martin Luther King Jr mendorong AS menjadi lebih baik.
"Beliau ikut memperjuangkan kesetaraan hak itu, tapi caranya dengan damai," paparnya dalam acara yang juga dihadiri putri pertama Gus Dur, Alissa Wahid, itu. 

Sumber :
ANT
Editor :
Jodhi Yudono







1 komentar:

  1. Islam itu bukan sekadar salat, puasa, zakat, haji, atau syariah, tapi Islam adalah jujur kepada manusia. Islam adalah cinta kepada manusia, Islam adalah keindahan. Jadi, kalau Anda mengaku Islam tapi tidak indah atau suka kekerasan, Anda belum tentu Islam

    BalasHapus